Rabu, 14 Desember 2011

POKOK � POKOK BAHASAN MENGENAI BUDAYA NUSANTARA


Membahas berbagai ihwal tentang kebudayaan sebagai perekat kehidupan bersama jelas tidak mungkin terselesaikan dalam satu persidangan. Banyak segi dalam kehidupan bersama yang memantulkan unsur budaya, dari penampulan perilaku manusia yang sederhana hingga yang majemuk. Tidak terlalu keliru kiranya kalau kita katakan, bahwa kebudayaan meresapi perilaku warga masyarakat yang menjadi pengemban kebudayaan (culture bearers) yang bersangkutan. Dalam hubungan inilah kebudayaan dapat dianggap sebagai perekat kehidupan bersama, bukan karena persamaan kepentingan (common interest) sesaat belaka, melainkan karena persamaan nilai-nilai (shared values) sebagai acuan perilaku dalam kehidupan bersama itu. Maka lebih dari sekedar perekat kebersamaan yang bersifat sementara, kebudayaan berdaya sebagai daya penggalang (rallying forces) bagi terwujudnya kebersamaan sebagai ke-Kita-an dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam pluralisme tersebut menjelmalah bentuk-bentuk kebersamaan yang bersifat ke-Kami-an; konfigurasi dalam keanekaan itu menghayati kebersamaan masing-masing sebagai ke-Kami-an dengan budayanya yang khas. Berbeda dengan ke-Kita-an yang selalu bersifat inklusif, kebersamaan bebentuk ke-Kami-an memiliki ciri eksklusivisme; ke-Kami-an seolah-olah memiliki demarkasi yang cenderung menempatkan �siapa yang asing� di luar batas eksistensinya. 3) Dalam menyusun rencana dan mengelola kebijakan tentang pembangunan bangsa umumnya dan pengembangan budaya khususnya, pluralisme termaksud merupakan kenyataan hidup (living reality) yang tidak mungkin diabaikan, bahkan perlu dihormati sebagai ramuan dasar untuk membangun kemanunggalan sikap dan perilaku kita sebagai pengemban kebudayaan dan kebangsaan Indonesia.
Ke-Kami-an tidak berarti pengucilan dari kebersamaan yang bersifat ke-Kita-an, Begitulah misalnya apa yang digambarkan oleh para pemuda di tahun 1928, yaitu betapa para pemuda Indonesia melampaui sekat-sekat ke-Kami-an (kedaerahan, kesukuan, keagamaan) hingga menyatu sebagai ke-Kita-an (Indonesia). Sebagaimana telah dikatakan di atas, yang terjadi bukanlah proses abstraksi atau generalisasi dari berbagai ke-Kami-an yang menjadi satu ke-Kita-an, melainkan suatu transendensi dari ke-Kami-an menjadi satu ke-Kita-an. Ke-Kita-an yang terbentuk tidak menafikan ke-Kami-an yang menjadi konstitusinya.
Dalam suasana demikian itu kebhinekaan budaya Nusantara niscaya tidak berfungsi sebagai kekayaan nasional (national treasure) yang bisa berfungsi sebagai perekat kebersamaan bagi terwujudnya satu ke-Kita-an Indonesia. 7) Sementara kita membahas masalah kebhinekaan budaya Nusantara Indonesia, tidak pula dapat kita abaikan bahwa apapun yang digambarkan sebagai kebudayaan Indonesia tidak terlepas dari kebhinekaan budaya masyarakat manusia sejagad. Pertemuan antarabudaya dalam pergaulan antarbangsa tidak hanya terjadi sejak orang ramai berbicara tentang globalisasi sebagai gejala yang tengah melanda dunia.
Dalam rentangan antara kedua daya inilah menjelma peradaban (civilization) sebagai hasil dari apa yang dilestarikan dan apa yang ditinggalkan sebagai acuan perilaku masyarakat pengemban budaya yang bersangkutan. 9) Bekerjanya dua daya Yang bertentangan itu merupakan semacam paradoks yang tidak mungkin kita hindari dalam usaha pengembangan kebudayaan umumnya, baik pada tataran lokal maupun nasional, bahkan global.
Dalam hubungan ini kita perlu menemukan apa yang cenderung berkembang sebagai kecenderungan gaya hidup di masa mendatang. Sangat boleh jadi kita akan menyaksikan perubahan orientasi nilai-nilai yang terkadang mendasar dan tidak mudah disesuaikan dengan sistem nilai yang berlaku. Kita mungkin sekali akan menghadapi perubahan orientasi nilai-nilai, dari yang sekedar yang berupa pergeseran (shift) atau mungkin juga yang bersifat persenketaan (conflict), bahkan tidak mustahil yang menggejala sebagai perbentuan (clash). 



Print this post

0 komentar:

Posting Komentar

 

© Technorati Style Copyright by kebudayaan | Template by One-4-All | Made In Indonesia