Rabu, 14 Desember 2011

MENGENAL ISLAMISASI ADAT BUDAYA LAMPUNG

Secara etimologis istilah Adat dapat diartikan sebagai kebiasaan atau aturan berbuat,
kelaziman berperilaku, cara berbuat yang berulang-ulang, atau kelakuan yang menjadi
kebiasaan. Kebiasaan itu sendiri adalah cara berbuat yang dilakukan berdasarkan norma
yang berlaku dalam masyarakat. Jadi adat merupakan kebiasaan berbuat yang diterima
masyarakat sebagai patokan bernorma (Abdul Syani, 1994).

Sedangkan R.M. Mac Iver dan Charles H. Page (1967), menterjemahkan kebiasaan sebagai perikelakuan yang diakui dan diterima oleh masyarakat. Kebiasaan tidak semata-mata diterima sebagai cara berperikelakuan, akan tetapi diterima sebagai norma-norma pengatur kelakuan. Dalam proses pelembagaan terdapat empat tahapan pembentukan adat-istiadat, yaitu tahap usage (cara), kebiasaan (folkways), tatakelakuan (mores), dan adat-istiadat (custom).

Usage adalah tahap pengenalan tentang bentuk perbuatan tertentu yang belum berpola,
belum bersanksi, lebih menunjuk pada kesadaran pribadi dan belum mengikat, seperti
kebiasaan gosok gigi, atau bangun kesiangan misalnya. Kebiasaan adalah bentuk
perbuatan yang disosialisasikan atau dianjurkan sehingga menjadi perbuatan yang diakui
masyarakat. Kebiasaan menunjukkan perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dalam
bentuk yang sama (ajeg).

Kebiasaan menunjukkan kuantitas orang-orang yang/mengakui suatu perbuatan sebagai patokan atau norma bertindak. Contohnya kebiasaan masyarakat dalam bersopan-santun antara usia muda dan tua. Tatakelakuan merupakan tahapan dimana kebiasaan diterima sebagai norma pengendali, yaitu aturan yang mencerminkan sifat-sifat perilaku yang nyata tentang keharusan, larangan, pemaksaan dan pemberian sanksi, baik terhadap hasil perbuatan sadar ataupun tidak sadar. Anggota masyarakat dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan tatakelakuan yang telah ditetapkan masyarakat sebagai standart perilaku.

Tujuannya adalah untuk menjaga keutuhan dan kerjasama antara anggota-anggota masyarakat, baik dalam tatacara pergaulan sehari-hari maupun dalam kerjasama usaha pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam tahapan ini meskipun satu golongan masyarakat melarang tegas dengan sanksi berat bagi pelanggarnya, seperti larangan perkawinan antara orang-rang yang masih bertalian saudara; akan tetapi masih ada golongann masyarakat yang masih atau justeru menganjurkannya. Sementara itu jika tahapan tatakelakuan ini meningkat kekuatan integrasinya dalam kehidupanmasyarakat dengan sanksi yang semakin kuat dan berlaku bagi semua golongan masyarakat, maka tahapan ini disebut adat-istiadat (custom). Bagi pelanggarnya akan diberi sanksi yang berat sehingga pelanggarnya tersebut akan menderita.

Menurut Leopold von Wiese dan Howard Becker (Selo Soemardjan dan Soelaiman
Soemardi, 1964), bahwa proses tersebut dinamakan institutionalization (pelembagaan),
yaitu suatu proses yang dilewati suatu norma kemasyarakatan yang baru untuk menjadi
bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan. Yang dimaksudkan ialah, sehingga
norma kemasyarakatan itu oleh masyarakat dikenal, diakui, dihargai, dan kemudian ditaati
dalam kehidupan sehari-hari. Contoh, adat-istiadat perkawinan masyarakat lampung
melarang terjadinya perceraian; perkawinan dinilai sebagai kehidupan bersama sampai
mati. Oleh karena itu apabila terjadi perceraian, maka yang bersangkutan bersama garis
keturunannya akan buruk namanya (tercemar), sehingga mereka akan menderita
karenanya. Dalam hal ini tidak hanya masyarakat lampung saja yang menganut adatistiadat
demikian, akan tetapi hampir seluruh golongan etnis masyarakat Indonesia mengakuinya.

Adat-istiadat yang mengandung nilai-nilai moral, hukum, kepercayaan, dan kebiasaankebiasaan berperilaku tersebut merupakan unsur penting dari suatu kebudayaan. Oleh karena itu adat-istiadat merupakan salah satu elemen dari kebudayaan; dan apabila adatistiadat itu secara nyata diwujudkan dalam bentuk perilaku yang tumbuh dari dan atau
menjadi ide/gagasan yang menghasilkan karya dan keindahan, maka adat-istiadat dapat
diidentikkan dengan kebudayaan.

KARAKTERISTIK ADAT BUDAYA LAMPUNG

Dalam buku "Primitive Cultur" karangan E.B.Tylor dikutip oleh Prof. Harsojo (1967:13),
bahwa kebudayaan adalah satu keseluruhan yang kompleks, yang terkandung di dalamnya
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuankemampuan yang lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota dari suatu masyarakat. R.Linton (1947) dalam bukunya "The cultural background of personality" mengatakan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil-hasil dari tingkah laku, yang unsur-unsur pembentuknya didukung danditeruskan oleh anggota dari masyarakat tertentu.

Kebudayaan juga dapat diartikan sebagai keseluruhan bentuk kesenian, yang meliputi
sastra, musik, pahat/ukir, rupa, tari, dan berbagai bentuk karya cipta yang
mengutamakan keindahan (estetika) sebagai kebutuhan hidup manusia. Pihak lain
mengartikan kebudayaan sebagai lambang, benda atau obyek material yang mengandung
nilai tertentu. Lambang ini dapat berbentuk gerakan, warna, suara atau aroma yang
melekat pada lambang itu. Masyarakat tertentu (tidak semua) memberi nilai pada warna
hitam sebagai lambang duka cita, suara lembut (tutur kata) melambangkan kesopanan
(meskipun didaerah lain suara lantang berarti keterbukaan), dan seterusnya.
Koentjaraningrat (1982) memperinci kebudayaan kedalam tiga wujud dari keseluruhan
hasil budi dan karya manusia, yaitu:

Pertama, sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Kedua, sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan manusia dalam masyarakat, dan ketiga, sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Secara sosiologis kebudayaan dipandang sebagai bentuk keanekaragaman
keinginan/kehendak dan perilaku masyarakat dalam rangka mencari kepuasan dan
keseimbangan sosial-kulturalnya. Sebab sosiologi memperhatikan sifat dan ciri kehidupan
bersama (masyarakat), yaitu interaksi dan relasi sosial yang dilembagakan. Menurut
Koentjoroningrat (1964), bahwa secara universal terdapat tujuh unsur kebudayaan yang
terdapat pada semua bangsa di dunia, yaitu:
  1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transportasi, dsb.)
  2. Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistim produksi,sistim distribusi).
  3. Sistim kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistim hukum, sistim perkawinan).
  4. Bahasa (lisan maupun tertulis).
  5. Kesenian seni rupa, seni suara, seni gerak.
  6. Sistim pengetahuan.
  7. Religi.

Dengan melihat begitu kompleksnya konsep kebudayaan sebagaimana dipaparkan di atas,
maka dalam kesempatan ini tidak mungkin dapat disampaikan secara keseluruhan,
karena terbatasnya waktu, pengetahuan dan disiplin ilmu yang ada. Oleh karena itu
dengan tidak mengurangi rasa hormat atau mengesampingkan segi kelengkapan argumen,
serta harapan penyelenggara, maka dalam kajian "Karakteristik Adat Budaya Lampung
sebagai Masyarakat Muslim, perlu pembatasan ruang lingkup kebudayaan dari segi
sistem kemasyarakatan saja sesuai dengan disiplin yang kami miliki. Sistem
kemasyarakatan mana yang menyangkut nilai-nilai kekerabatan dan pandangan hidup
masyarakat setempat, khususnya masyarakat muslim daerah lampung.

Bagi masyarakat lampung pada umumnya, pandangan hidup yang mencolok sebagai
standar budaya adalah Pi'il Pesenggiri. Pi'il Pesenggiri dapat diartikan sebagai
kehormatan diri, malu bersalah, perasaan berharga atau harga diri. Untuk menjaga
harga diri ini agar tetap terhormat, maka pribadi-pribadi dalam pergaulannya senantiasa
dituntut untuk dapat bersikap dan berperilaku yang benar, baik, terpuji sesuai dengan
harapan masyarakat. Pi'il Pesenggiri mengandung nilai kehendak dan harapan yang diukur
dari kebenaran, kebaikan dan kepantasan menurut diri sendiri dan menurut orang lain. Yang
penting adalah bahwa niat dan perbuatannya benar-benar dapat dirasakan sebagai
sesuatu yang memang sudah seharusnya (Makalah : Kebudayaan Daerah setempat
sangat berarti bagi Pembentukan Jatidiri Bangsa, 1996).

Menurut Hilman Hadikesuma (1977), Pi'il artinya pendirian, perasaan, sikap; Pi'il
Pesenggiri ialah rasa harga diri, rasa malu dengan orang lain. Karena Pi'il seseorang sering
mengasingkan diri dari kaum kerabat untuk berusaha, mencari pengetahuan dan
pengalaman, sehingga pada suatu saat ia muncul kembali dengan membawa nama
baik (keberhasilan). Elemen-elemen adat budaya yang berkaitan erat dengan Pi'il
Pesenggiri dalam praktek kehidupan masyarakat, diantaranya ialah Juluk-adek, Nemuinyimah, Nengah-nyappur, dan Sakay-sambayan. Elemen-elemen adat budaya inilah yang akan dikaji dalam rangka menjelaskan dan menarik benang merah Pi'il Pesenggiri
sebagai karakteristik masyarakat muslim lampung.http://www.facebook.com/note.php?note_id=381210637921

Print this post

0 komentar:

Posting Komentar

 

© Technorati Style Copyright by kebudayaan | Template by One-4-All | Made In Indonesia